By: Abdullah Al-Mustofa
Peneliti ISFI (Islamic Studies Forum for Indonesia) Kuala Lumpur, kandidat Master Studi Al-Qur’an di IIUM (International Islamic University Malaysia)
Peneliti ISFI (Islamic Studies Forum for Indonesia) Kuala Lumpur, kandidat Master Studi Al-Qur’an di IIUM (International Islamic University Malaysia)
SEBUAH
sinetron berdasarkan kisah nyata dari Mesir beberapa hari yang lalu
ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi swasta tanah air. Sinetron
tersebut mengisahkan seorang ibu yang diajak putranya pergi ke Tanah
Suci untuk melaksanakan ibadah umrah. Betapa bahagianya si anak karena
ibunya dapat mengunjungi Tanah Suci. Tapi kebahagiaannya itu berubah
menjadi kesedihan tatkala ibunya berada di dalam kawasan Masjidil Haram
tidak bisa melihat Ka’bah karena tidak bisa melihat apa-apa kecuali
kegelapan.
Dia
tidak putus asa. Dia tiada putus memohon kepada Allah SWT agar Dia
berkenan mengampuni dosa-dosa ibunya serta membuat ibunya bisa melihat
Ka’bah. Namun Allah SWT belum berkenan mengabulkan doa-doanya hingga
saatnya harus kembali ke tanah air mereka. Dia pun tidak putus asa untuk
mengajak ibunya untuk pergi ke Tanah Suci hingga lima kali umrah dan
satu kali haji meskipun ternyata ibunya tetap mengalami hal yang sama,
ibunya selalu mengalami kebutaan ketika berada di kawasan Masjidil
Haram.
Di laman
web onislam.com berbahasa Inggris ada seorang yang telah tiga kali
melaksanakan haji dan berencana akan melaksanakan haji tahun ini
mengajukan pertanyaan apa yang sebaiknya dia lakukan antara memenuhi
keinginan diri sendiri dengan melaksanakan haji lagi dan memenuhi
kebutuhan umat dengan jalan membantu meringankan beban umat Islam yang
dirundung kemalangan.
Setiap
tahun selalu ada saja sejumlah artis atau selebriti Indonesia yang
berkesempatan pergi ke tanah suci untuk berumrah atau berhaji.
Haji Sebagai Gaya Hidup
Di jaman
yang penuh dengan kemudahan dan fasilitas ini menunaikan ibadah umrah
dan haji telah menjadi gaya hidup sebagian kaum Muslimin dari sudut
dunia manapun baik itu pejabat pemerintah, tokoh agama, kalangan
selebritis, pengusaha maupun mereka yang berasal dari kalangan awam.
Mereka dengan mudah dan ringan mengunjungi Baitullah (Rumah Allah)
layaknya mengunjungi rumah kawan, kenalan atau kerabat di luar desa
atau di luar kota. Saking mudah dan ringannya hingga sebagian dari
mereka mampu haji atau umrah setiap tahunnya. Bahkan juga tidak
mengherankan ada yang mampu beberapa kali dalam setahun ulang-alik
antara tanah air dan tanah suci.
Fenomena tersebut patut disyukuri. Hal ini secara kasat mata menunjukkan adanya peningkatan ghiroh
keislaman dalam beramal di kalangan umat Islam. Namun fenomena ini juga
patut menjadi keprihatinan dan bahan renungan kita bersama. Apakah
patut menjadikan haji dan atau umroh sebagai gaya hidup sedangkan pada
saat yang sama ada begitu banyak saudara-saudara seiman (dan jumlah
mereka ini jauh melebihi mereka yang mampu menjadikan haji dan umrah
sebagai gaya hidup) yang menjadi korban peperangan, bencana alam,
bencana ekonomi dan bencana sosial?
Pribadi yang berakal sehat dan beriman tentu tidak bisa menerima hal ini dan menjawab tidak patut!
“Tidak beriman salah seorang di antaramu sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari dan Muslim)
Setiap
orang yang waras tentu mencintainya dirinya sendiri, untuk itu dia tidak
pelit untuk mengerahkan daya, upaya, waktu dan dana untuk menjaga
keberlangsungan, kesejahteraan dan keselamatan hidupnya. Salah satu
tanda keimanan seorang Muslim adalah mencintai saudaranya seperti
mencintai dirinya sendiri. Dengan demikian dia tidak akan pelit
mengerahkan daya, upaya, waktu dan dana untuk menjaga keberlangsungan,
kesejahteraan dan keselamatan hidup saudara-saudara seagamanya.
Jihad Sebagai Gaya Hidup
Lalu apa
yang patut dan mesti dilakukan? Yang bisa ditawarkan adalah menjadikan
jihad dalam arti yang sebenarnya -bukan yang salah dimengerti dan dalam
pengertian yang salah- sebagai gaya hidup di kalangan umat Islam.
Syaikh Yusuf Qaradhawi dalam bukunya “Fiqhul Jihad” berpendapat bahwa kata jihad mempunyai makna yang lebih luas daripada kata peperangan (al-qital), meskipun kata beliau, fiqih memahami kata jihad hanya berarti peperangan.
Beliau
mengemukakan berbagai definisi jihad yang diberikan para ulama. Beliau
lebih memilih jihad yang didefinisikan sebagai pengerahan usaha dan
kemampuan di jalan Allah dengan nyawa, harta, pikiran, lisan, pasukan,
dan lain sebagainya. Menurut beliau definisi ini yang lebih tepat karena
mencakup seluruh jenis jihad yang diterangkan al-Qur’an dan Sunnah.
Dengan
mengutip pendapat Ibnu Taimiyah beliau memberikan isyarat bahwa jihad
mencakup aktivitas hati berupa niat dan keteguhan, aktivitas lisan
berupa dakwah dan penjelasan, aktivitas akal berupa pemikiran dan ide,
serta aktivitas tubuh berupa perang dan lain sebagainya.
Beliau membagi jenis jihad menjadi empat:
1. Jihad Militer: Jihad Perlawanan dan Jihad Penyerangan
2. Jihad Spiritual
3. Jihad Dakwah
4. Jihad Sipil (al-Jihad al-Madani). Jihad sipil ini mencakup Jihad Ilmu, Jihad Sosial, Jihad Ekonomi, Jihad Pengajaran, Jihad Kesehatan, dan jihad lainnya.
2. Jihad Spiritual
3. Jihad Dakwah
4. Jihad Sipil (al-Jihad al-Madani). Jihad sipil ini mencakup Jihad Ilmu, Jihad Sosial, Jihad Ekonomi, Jihad Pengajaran, Jihad Kesehatan, dan jihad lainnya.
Mengingat
dan menimbang betapa kronisnya problematika umat Islam di manapun
mereka berada saat ini seperti di Palestina, Somalia, Burma, Kashmir dan
di tanah air sendiri sudah saatnya seluruh komponen umat Islam terutama
para pemimpin dan ulama untuk mensosialisasikan gerakan jihad sebagai
gaya hidup kaum Muslimin.
Jihad Sebagai Solusi Problematika Umat
Berdasarkan
makna, definisi, konsep dan cakupan jihad sebagaimana yang dijelaskan
secara gamblang dalam komprehensif oleh Syaikh Yusuf Qaradhawi dalam
bukunya tersebut dapat penulis simpulkan jika jihad benar-benar dan
sungguh-sungguh diterapkan oleh umat Islam akan mampu menyelesaikan
problematika umat Islam kontemporer.
Dr. Wael
Shihab, yang memperoleh gelar doktor dalam bidang Studi Islam dari
Universitas Al-Azhar Mesir, mantan Ketua Unit Fatwa di IslamOnline.net
versi Bahasa Inggris dalam laman web onislam.com memaparkan, tidak bisa
diterima jika seorang Muslim berulang kali melakukan ibadah umrah dan
haji yang merupakan ibadah sunnah tapi meninggalkan kewajibannya
membantu saudara seagamanya untuk mempertahankan identitas dan keyakinan
agama mereka dan melindungi kehidupan mereka. Mendukung dakwah,
kesejahteraan masyarakat, proyek-proyek keislaman seperti pusat Islam
dan sekolah-sekolah yang mendidik Muslim dan non-Muslim untuk mengetahui
Islam dan ajaran-ajarannya, dan mendidik generasi penerus umat Islam
dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, jika seorang Muslim
memberikan prioritas pada tugas ini akan mendapatkan pahala lebih banyak
dari pada melakukan haji dan umrah berulang kali.
Keutamaan Jihad
Rasulullah
SAW bersabda yang artinya: Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW
ditanya, “Amal apakah yang paling utama?” Maka beliau menjawab, “Iman
kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ditanyakan lagi, “Kemudian apa?” Beliau
menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ditanyakan lagi, “Kemudian apa?”
Beliau menjawab, “Haji mabrur” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadits
di atas menunjukkan berjihad di jalan Allah merupakan amal yang lebih
utama dibandingkan dengan haji mabrur, apatah lagi haji yang tidak
mabrur. Jika anda sudah berhaji dan atau umrah satu kali apalagi lebih
dari satu kali, saat ini yang lebih tepat anda lakukan adalah berjihad.
Allahu Akbar! Wallahu a’lam [voa-islam.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar