Setiap
orang sangat berkeinginan sekali untuk menginjakkan kaki di tanah
haram. Setiap jiwa yang beriman sungguh merindukan melihat ka’bah di
Makkah Al Mukarromah. Setiap insan yang beriman pun ingin menyempurnakan
rukun Islam yang kelima, apalagi jika sudah memiliki kemampuan harta
dan fisik. Ketika keinginan ini tercapai dan telah menempuh ibadah haji,
seharusnya seseorang yang melakukannya menjadi lebih baik selepas itu.
Namun tidak sedikit yang berhaji yang kondisinya sama saja atau bahkan
imannya lebih “down” dari sebelumnya. Padahal sebaik-baik haji adalah
haji yang mabrur. Balasan haji semacam itu adalah surga. Pasti semua
pun menginginkan kenikmatan luar biasa tersebut. Apakah yang dimaksud
haji mabrur? Berikut penjelasan sederhana yang moga bermanfaat.
Keutamaan di Balik Haji
Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji serta
berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun
memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada Allah
pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah no 2893. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Dalam hadits Ibnu ‘Umar yang lainnya disebutkan,
“Adapun keluarmu dari rumah untuk berhaji ke Ka’bah maka setiap
langkah hewan tungganganmu akan Allah catat sebagai satu kebaikan dan
menghapus satu kesalahan. Sedangkan wukuf di Arafah maka pada saat itu
Allah turun ke langit dunia lalu Allah bangga-banggakan orang-orang yang
berwukuf di hadapan para malaikat.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Mereka adalah
hamba-hambaKu yang datang dalam keadaan kusut berdebu dari segala
penjuru dunia. Mereka mengharap kasih sayangKu, merasa takut dengan
siksaKu padahal mereka belum pernah melihatKu. Bagaimana andai mereka
pernah melihatKu?!
Andai engkau memiliki dosa sebanyak butir pasir di sebuah
gundukan pasir atau sebanyak hari di dunia atau semisal tetes air hujan
maka seluruhnya akan Allah bersihkan.
Lempar jumrohmu merupakan simpanan pahala. Ketika engkau
menggundul kepalamu maka setiap helai rambut yang jatuh bernilai satu
kebaikan. Jika engkau thawaf, mengelilingi Ka’bah maka engkau terbebas
dari dosa-dosamu sebagaimana ketika kau terlahir dari rahim ibumu”
(HR. Thobroni dalam Mu’jam Kabir no 1339o. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahihul Jaami’ no. 1360).
Haji Mabrur, Jihad yang Paling Afdhol
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Amalan apa yang
paling afdhol?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa
lagi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan
Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”,
jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1519)
Dari ‘Aisyah—ummul Mukminin—radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
“Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang
paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang
paling utama adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” (HR. Bukhari no. 1520)
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
““Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok
dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana
ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521).
Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Haji disebut jihad karena di dalam amalan tersebut terdapat mujahadah (jihad) terhadap jiwa.”[1]
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Haji dan
umroh termasuk jihad. Karena dalam amalan tersebut seseorang berjihad
dengan harta, jiwa dan badan. Sebagaimana Abusy Sya’tsa’ berkata, ‘Aku
telah memperhatikan pada amalan-amalan kebaikan. Dalam shalat, terdapat
jihad dengan badan, tidak dengan harta. Begitu halnya pula dengan
puasa. Sedangkan dalam haji, terdapat jihad dengan harta dan badan. Ini
menunjukkan bahwa amalan haji lebih afdhol’.”[2]
Yang Dimaksud Haji Mabrur
Ibnu Kholawaih berkata, “Haji mabrur adalah haji yang maqbul (haji yang diterima).” Ulama yang lainnya mengatakan, “Haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri dengan dosa.” Pendapat ini dipilih oleh An Nawawi.[3]
Para pakar fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori dengan kemaksiatan pada saat melaksanakan rangkaian manasiknya. Sedangkan Al Faro’ berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi hobi bermaksiat. Dua pendapat ini disebutkan oleh Ibnul ‘Arabi.
Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Haji mabrur adalah jika sepulang haji menjadi orang yang zuhud dengan dunia dan merindukan akherat.”
Al Qurthubi rahimahullah menyimpulkan, “Haji
mabrur adalah haji yang tidak dikotori oleh maksiat saat melaksanakan
manasik dan tidak lagi gemar bermaksiat setelah pulang haji.”[4]
An Nawawi rahimahullah berkata, “Pendapat yang paling kuat dan yang paling terkenal, haji mabrur adalah haji yang tidak ternodai oleh dosa, diambil dari kata-kata birr yang bermakna ketaatan. Ada juga yang berpendapat bahwa haji mabrur adalah haji yang diterima. Di
antara tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan menuju
yang lebih baik setelah pulang dari pergi haji dan tidak membiasakan
diri melakukan berbagai maksiat. Ada pula yang mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri unsur riya’. Ulama yang lain berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi bermaksiat. Dua pendapat yang terakhir telah tercakup dalam pendapat-pendapat sebelumnya.”[5]
Jika telah dipahami apa yang dimaksudkan dengan haji mabrur, maka
orang yang berhasil menggapai predikat tersebut akan mendapatkan
keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349). An Nawawi rahimahullah menjelaskan,
“Yang dimaksud, ‘tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga’,
bahwasanya haji mabrur tidak cukup jika pelakunya dihapuskan sebagian
kesalahannya. Bahkan ia memang pantas untuk masuk surga.”[6]
Di antara bukti dari haji mabrur adalah gemar berbuat baik terhadap sesama. Dari Jabir, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang haji yang mabrur. Jawaban beliau,
“Suka bersedekah dengan bentuk memberi makan dan memiliki tutar kata
yang baik” (HR. Hakim no. 1778. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan. Lihat Shahihul Jaami’ no. 2819).
Demikianlah kriteria haji mabrur. Kriteria penting pada haji
mabrur adalah haji tersebut dilakukan dengan ikhlas dan bukan atas
dasar riya’, hanya ingin mencari pujian, seperti ingin disebut “Pak
Haji”. Ketika melakukan haji pun menempuh jalan yang
benar, bukan dengan berbuat curang atau menggunakan harta yang haram,
dan ketika melakukan manasik haji pun harus menjauhi maksiat, ini juga
termasuk kriteria mabrur. Begitu pula disebut mabrur adalah sesudah
menunaikan haji tidak hobi lagi berbuat maksiat dan berusaha menjadi
yang lebih baik. Sehingga menjadi tanda tanya besar jika seseorang
selepas haji malah masih memelihara maksiat yang dulu sering ia
lakukan, seperti seringnya bolong shalat lima waktu, masih senang
mengisap rokok atau malah masih senang berkumpul untuk berjudi. Jika
demikian keadaannya, maka sungguh sia-sia haji yang ia lakukan. Biaya
puluhan juta dan tenaga yang terkuras selama haji, jadi sia-sia belaka.
Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari-Nya. Oleh karenanya,
senantiasalah memohon kepada Allah agar kita yang telah berhaji
dimudahkan untuk meraih predikat haji mabrur. Yang tentu saja ini butuh
usaha, dengan senantiasa memohon pertolongan Allah agar tetap taat dan
menjauhi maksiat. Semoga Allah menganugerahi kita haji yang mabrur. Amin Yaa Mujibas Saailin.
Penulis : Muhammad Abduh Tuasikal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar